Sekitar 5.000 orang Inggris masuk Islam setiap tahunnya. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan.
Kebanyakan mualaf melalui masa-masa awalnya sebagai muslim dengan tidak mudah. Mereka harus berhadapan dengan stigma negatif tentang Islam, bahkan penolakan dari keluarganya sendiri.
Berikut adalah cerita dari 4 orang mualaf tentang stigma dan penolakan tersebut, seperti dikutip dari theguardian.com, Minggu (20/7/2014):
1. Ioni Sullivan (37) pegawai pemerintahan daerah di East Sussex
Saya menikah dengan seorang muslim dan memiliki dua orang anak. Kami tinggal di Lewes, Inggris di mana saya menjadi satu-satunya wanita berhijab di desa itu.
Saya lahir dan dibesarkan di keluarga dari kelas menengah. Ayah saya seorang profesor dan ibu saya seorang guru. Ketika saya menyelesaikan gelar MPhil di Cambridge pada tahun 2000, saya bekerja di Mesir, Yordania, Palestina dan Israel.
Waktu itu saya memiliki bermacam stereotype terhadap Islam. Namun setelah beberapa lama saya terkesan dengan kekuatan orang-orang di negara-negara itu yang berasal dari iman mereka. Kehidupan mereka berbeda dengan kampung halaman saya di Lewes, Inggris.
Tahun 2001, saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang Yordania. Awalnya saya tinggal dengan kehidupan yang sangat bergaya barat, pergi di bar dan klub. Tapi belakangan ini saya mulai kursus bahasa Arab.
Saya menemukan diri saya membaca sebuah buku yang membuktikan adanya Tuhan dalam keindahan yang tak terbatas. Saya tidak membutuhkan iman untuk memberkati saya dan tempat suci untuk tempat berdoa.
Kemudian saya melihat Islam. Di sana saya melihat ada ibadah puasa, amalan wajib, nilai kesopanan. Dalam hati, saya mulai menganggap diri sebagai seorang muslim tapi merasa tak perlu berteriak tentang hal itu.
Bagian dari diriku mencoba untuk menghindari konflik dengan keluarga dan teman-teman. Pada akhirnya memutuskan mengenakan hijab. Aku merasa tidak jujur kepada diriku sendiri jika tak mengenakan jilbab.
Keputusan ini menyebabkan sedikit pergesekan dan menjadikannya bahan candaan. Beberapa orang mulai bertanya, apakah saya menderita kanker.
2. Dr Annie (Amina) Coxon (72), dokter ahli saraf di London
Saya dibesarkan di Amerika Serikat dan Mesir, kemudian bersekolah asrama di Inggris. Annie menjalani pelatihan medis di London dan AS. Saya menikah dua kali, memiliki tiga anak tiri dan lima cucu.
Aku masuk Islam 21 tahun yang lalu. Keputusan itu merupakan hasil pencarian panjang. Awalnya saya melihat Islam memiliki banyak citra negatif, seperti yang banyak diberitakan media.
Saya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dibimbing seorang perempuan dari Sultan Oman yang menjadi salah satu pasiennya.
Walau awalnya ditolak oleh keluarganya, Annie kemudian berhasil meluluhkan hati mereka. Namun setelah peristiwa 9/11, hubungannya dengan keluarga kembali berubah. Ia tak diterima lagi oleh keluarga.
Saat saya masuk Islam, saya dinasihati seorang imam, agar saya menggunakan pakaian yang lebih sopan. Saya kemudian mencoba bergabung dalam berbagai komunitas Islam di Turki, Pakistan, dan Maroko. Saya pergi ke masjid Maroko selama 3 tahun. Saya memiliki kanker, tapi ini tak menjadi masalah dibanding ketenangan, kebijaksanaan, dan kedamaian yang telah diperolehnya.
3. Kristiane Backer (47), Presenter TV, London
Saya dibersarkan di Jerman dalam keluarga yang tidak religius. Saya kemudian pindah ke London untuk bekerja di MTV Europe pada tahun 1989. Saya mewawancarai semua orang dari Bob Geldof hingga David Bowie, bekerja keras, berpesta pora, tapi ada sesuatu yang hilang.
Saat perasaan itu datang, saya diperkenalkan dengan seorang pemain kriket Imran Khan.
Dia memberi saya buku-buku tentang Islam dan mengajak saya bepergian ke Pakistan. Perjalanan mereka membuka dimensi baru dalam hidup saya, kesadaran spiritual. Kemurahan hati, pengorbanan umat muslim yang saya temui sungguh menyentuh hati. Semakin saya membaca, semakin saya tertarik Islam. Saya kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 1995.
Setelah itu saya memutuskan untuk berhenti bekerja di media hiburan. Kebanyakan muslim menikah di usia muda. Namun saya masuk Islam pada usia 30 tahun dan masih melajang hingga 10 tahun kemudian. Saya kemudian memutuskan untuk mencari jodoh lewat online. Di sana, saya bertemu dan jatuh cinta pada produser TV muslim dari Maroko yang tinggal di AS. Kami memiliki banyak kesamaan dan menikah pada tahun 2006.
Namun suaminya menuntutnya terlalu banyak. Dia merasa sang suami tidak membawanya ke dalam Islam secara batiniah.
Insya Allah, suami masa depan saya akan lebih percaya dan fokus pada nilai-nilai batiniah Islam. Saya tidak menyesal. Hidup saya sekarang memiliki banyak makna. Kekosongan saya gunakan untuk memenuhinya dengan Allah. Itu tak ternilai harganya.
4. Andrea Chishti (47), Guru
Saya bahagia setelah 18 tahun menikah dengan seorang muslim. Suami saya kelahiran Inggris, berasal dari Pakistan dan memiliki dua orang anak.
Fida dan saya bertemu di universitas pada tahun 1991. Fida menginginkan sebuah keluarga muslim, dan pada tahun 1992 minatnya kepada Islam telah meningkat secara signifikan. Akhirnya saya masuk Islam. Tiga tahun setelahnya, saya menikah dengan dia.
Sang ayah saat itu menganggap keputusan saya adalah keputusan yang gila sedangkan sang ibu sangat terkejut. Tapi ayah menyukai sosok suami Andrea.
Andrea kemudian hidup bersama suami dan keluarga besarnya. Namun dia masih belum memutuskan untuk mengenakan jilbab karena mempertimbangkan perasaan ibunya. Andrea mengaku kehidupan remajanya baik-baik saja, tidak pernah minum minuman keras. Namun ketika menemukan Islam, Islam memperkuat etika dan moral, dan memberikan dasar yang baik dalam kehidupan keluarganya.
Sumber :
http://maniz-manja.blogspot.com/2014/08/kisah-4-mualaf-wanita-inggris-yang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar